Suku Dayak Iban
Iban
|
|
Total populasi
|
600.000 (Sarawak)
|
Wilayah dengan
populasi signifikan
|
|
Bahasa
|
|
Agama
|
|
Kelompok etnis yang
berhubungan
|
Kantu, Mualang, Seberuang, Bugau &
Sebaru'
|
Suku Iban atau Suku Dayak Iban,
adalah salah satu rumpun suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Sarawak,Brunei dan TawauSabah. Mengikut sejarah
lisan, pembentukan dan perkembangan budaya sosial Suku Iban terjadi
semasa di Tampun Juah, sebelum
berpecah kepada beberapa subsuku-subsuku yang ada sekarang. Selama masa
kolonial Inggris dan Belanda, kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut dalam
pengertian bahasa Iban bermaksud Melayu. Fakta ini
disokong kerana bahasa Iban adalah
bahasa yang paling dekat dengan bahasa Melayu.(bahasa Inggris:Sea
Dayak).[1]
Suku Dayak
Seberuang
uku Dayak Seberuang
|
Jumlah populasi
|
~ 24.000
|
Kawasan dengan populasi yang signifikan
|
Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat:24.000
|
Kelompok etnik terdekat
|
Suku Dayak Seberuang adalah sub suku Dayak dari rumpun Iban yang
terdapat di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Suku Dayak Seberuang dalam kelompok besar menetap di :
1.
Kecamatan Sepauk, Sintang
2.
Kecamatan Tempunak, Sintang
Suku Dayak Seberuang merupakan suatu kelompok suku Ibanik Group
yang merupakan salah satu mayoritas suku yang mendiami wilayah di Kabupaten Sintang.
Menurut Sejarah, raja yang pertama memerintah di kerajaan Sintang
berasal dari hulu sungai Sepauk tepatnya di daerah bukit Kujau di Hulu sungai
Sepauk dan Tempunak. Selain suku Dayak Seberuang, di daerah Sepauk khususnya
berdiam pula suku
Dayak Sekujam dan suku
Dayak Sekubang. Kedua suku Dayak ini diyakini menetap lebih awal di
kawasan ini yang kemudian karena ada perpindahan secara berkelompok oleh suku
Dayak Seberuang yang berasal dari Tampun Juah maka hampir seluruh kawasan di sepanjang sungai Sepauk dan sungai
Tempunak ditempati
oleh orang Dayak Seberuang. Selain itu, Seberuang juga merujuk pada satu
kecamatan yang berada di kabupaten Kapuas Hulu yaitu Seberuang, Kapuas Hulu.
Suku Dayak
Mualang
Suku Dayak Mualang adalah
salah satu sub suku Dayak Ibanic yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten
Sintang di Kalimantan Barat, Indonesia, yaitu Kecamatan :
1.
Belitang Hilir, Sekadau
2.
Belitang, Sekadau
3.
Belitang Hulu, Sekadau
4.
Sepauk, Sintang dan sekitarnya.
Ciri Fisik
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara
rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
·
Dayak Mongoloid
·
Dayak Malayunoid
·
Dayak Autrolo-Melanosoid
·
Dayak Heteronoid
Salah satu ciri yang tampak pada orang Mualang adalah ciri fisik
yang mongoloid,
wajah bulat, kulit putih/kuning langsat, mata agak sipit, rambut lurus, ada
juga yang ikal serta relatif tidak tinggi, dan juga dikenal dengan
keramah-tamahannya, orang mualang sangat mudah membaur dengan sub suku lain.
Oleh karena itu, ada banyak sekali orang-orang dari pulau seberang yang mencari
nafkah didaerah mualang.contohnya orang-orang lokal/ tempatan / Dayak lainnya,
kemudian dari pulau jawa, sumatera (Melayu, Batak dll).
Bahasa
Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti
halnya kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk
dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat
dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran kata i
dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan
inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r ( R
berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung arti yang sama.
Legenda
Sekitar lebih dari 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat yang
kini disebut Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari sebuah
tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah, yakni sebuah
wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau Kapuas, tepatnya di
hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.
Urang Panggau
Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan
bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung
sebagai masyarakat Pangau Banyau ( kumpulan orang-orang khayangan dan manusia )
kemudian kesemuanya itu disebut Urang Negeri Panggau/Orang Menua artinya orang
yang berasal dari tanah ini (Borneo).
Tampun Juah
'Tampun Juah' merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak
yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah
masyarakat Pangau Banyau tersebar dan hidup di daerah sekitar bukit kujau’ dan
bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung,
Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari
satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku
atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana
mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah
Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama.
Mereka hidup aman, damai dan harmonis.
Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan
Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan
akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun
sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar
berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan
satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari
punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya
dihanyutkan di sungai.
Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian
terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah
dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun
(algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam
Sepagi/Jempa.
Penggolongan Masyarakat
Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau
penggolongan masyarakat, yakni:
·
Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang
hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja
·
Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya
menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau
bebas
·
Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang
yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya
sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya
Temenggung
Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk
Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin – pemimpin
di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur
kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.
Kehidupan Ritual[sunting | sunting sumber]
Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan
kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang
suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang (
perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama
ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang
turun ke bumi, symbol seorang laki –laki dan pukat mengawan adalah celah –
celah dari jala / pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut
menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria
dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni:
Tujuh orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:
1.
Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
2.
Puyang Belawan
3.
Dara Genuk ( perempuan )
4.
Bejid manai
5.
Belang patung
6.
Belang pinggang
7.
Belang bau
8.
Dara kanta” ( perempuan )
9.
Putong Kempat ( perempuan )
10. Bui Nasi (
awal mula adanya nasi)
- Puyang Gana lahir tidak seperti kelahiran manusia normal, ia
mempunyai kaki satu, tangan satu dan lahir dalam keadaan meninggal. Karena
mempunyai tubuh yang tidak lazim atau jelek, ia diberi nama Gana, ia di kubur
dibawah tangga. Ketika ada pembagian warisan ia datang dalam rupa yang
menyeramkan (hantu) dan meminta bagiannya hingga karna suatu alasan maka ia
mengklaim dirinya sebagai penguasa seluruh tanah dan hutan.( Baca, tentang
kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan
Barat hal.184 – 188 ). - Puyang Belawan lahir secara normal seperti manusia
biasa. - Dara Genuk lahir kerdil atau mempunyai tangan dan kaki yang pendek,
oleh sebab itu ia di sebut Dara genuk. - Bejid Manai lahir dan mempunyai
sedikit kelainan pada bagian tubuhnya, yakni kemaluannya besar. Oleh sebab
itulah ia disebut Bejid Manai. - Belang Patung lahir dan mempunyai kelainan
pada setiap ruas tulangnya yang belang – belang, oleh sebab itu ia disebut
Belang Patung. - Belang Pinggang lahir dan mempunyai pinggang yang belang, oleh
sebab itu ia disebut Belang Pinggang. - Belang Bau lahir dalam keadaan belang
dan tubuhnya bau, oleh sebab itu ia disebut Belang Bau. - Dara Kanta” lahir
normal tetapi mempunyai Cala ( tanda hitam ) dipipinya, oleh sebab itu ia
disebut Dara Kanta”. - Putong Kempat lahir dalam keadaan normal dan ia
mempunyai tubuh yang indah dan kecantikannya luar biasa tak terbayangkan, Upa
Deatuh / upa dadjangka” oleh sebab itu ia disebut Putong Kempat. - Bui Nasi
lahir dalam keadaan aneh, karena lansung dapat bicara dan merengek minta nasi dan
kelahiran inilah awal mula orang Pangau Banyau makan Nasi.2. ( Baca, tentang
kerajaan Sintang pada buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan
Barat hal.185). Menyebabkan ayah dan Ibunya memohon kepada Petara untuk
mengubahnya menjadi bibit padi.
Adat Istiadat Tampun Juah
Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma
–norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang lebih baik
hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur. Demikian juga
aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan masyarakat diluarnya.
Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun Juah semakin maju dan dikenal
hingga datanglah masyarakat dari berbagai kelompok lain yang bergabung dan
berlindung serta mencari kehidupan yang lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan
kemakmuran di Tampun Juah, telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal
ini menyebabkan penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk
merebut kejayaan di Tampun Juah.
Orang Buah Kana
Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus,
sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah
hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan
Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan masyarakat Tampun Juah sangat
terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan beberapa kerajaan, di suatu ketika
sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang).
Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya
persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif
dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau
/ Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan
Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit (
jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan sakti dari suku
Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka
mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang)
Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas sampai ke teluk air daerah batu
ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk sungai Sekayam dan terus ke hulunya,
mengadakan penyerangan ke Tampun Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun
Juah dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela
kedamaian di Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir.
Perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini
pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun
diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).
Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama
karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan memengaruhi
bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua
tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau,
berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan
akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.
Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak
musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan
segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka memengaruhi bangsa
binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi,
sama halnya dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat
dikalahkan. Karena masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi
yakni, dengan menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman
masyarakat Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang
keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan
hutan lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan
intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa
keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang
berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama
kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti / serumpun. ( Ibanic
Group ).
Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini
merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk
mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan
mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori
Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan
masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa
setan, sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori
setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan
Tahi. Karena terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu
yang lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi,
menyebabkan gemparlah Tampun Juah.
Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan
permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat,
(musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara
berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing
temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau
tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok
belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak
dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di
Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa
yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan,
selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah:
1.
Kelompok yang kini di sebut Dayak Batang Lupar / Iban, berangkat
menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar,
Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban
dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di
Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok
atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang,
Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
2.
Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai
ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk
kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
3.
Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan
terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada
pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama
kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai,
sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung
Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal di
zamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau,
rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir
yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa
arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka
menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal
rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, ia
dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk
menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau
temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan
nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh
penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.4 Setelah berkabung, mereka
memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika
sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk (
teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan
ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai
mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala
dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan
lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka
juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada
suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu
lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan
dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari
Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang,
yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang
Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”.
Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya.
Penduduk Tanah Tabo
Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong.
Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di
khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan
tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak
dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali (
terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di
khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang
panjang kebumi tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin
mali mereka, menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.5
Guyau Temenggung Budi
Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur
dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama Dayak
Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan sebagian ke Sepauk,
Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan Pukat Mengawang lainnya juga
menyebar mengikuti kehidupan masing – masing dan ada yang membentuk kelompok
suku – suku serumpun lainnya. Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat
Mengawang yaitu: Putong Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung,
pada masa kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan
kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ). Demikianlah
urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.[1]
1.
Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya
yang bernama
2.
Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan
3.
Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan
4.
Abang Panjang, kawin, menurunkan
5.
Demong Karang kawin, menurunkan
6.
Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan
7.
Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan
8.
Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan
9.
Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385)
10. Dara
juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit
(hindu).
Dayak Lebang Nado
Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan
bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini. Keturunan
tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender. Sebagai bukti hantaran
dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua belas orang parinduk atau bukti
hantaran, kemudian kedua belas orang ini membentuk komunitas disekitar Bukit
kelam dan lambat laun menjadi komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari
keturunan Dayak Mualang, Melayu hindu dan Jawa hindu.
Mualang Tanjung
6 Rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang
terpecah membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok
lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya. Sebagian
bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam usahanya mencari
Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut dipimpin oleh Singa Patih
Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika menyebar mencari daerah yang
disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih Bardat bercampur dengan Dayak
Mualang, menurunkan suku -suku kecil yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak
Mualang Sekadau di daerah Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang
dikutuk melebur menjadi batu karena sebuah peristiwa).
Patih Bangi[sunting | sunting sumber]
Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu
sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai Dayak
Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah Belitang inilah
yang banyak menurunkan Raja –Raja Sekadau, dan Raja Belitang. Kerajaan kecil
tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.
Kerajaan Sekadau
Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh
Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari sungai
Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah pangeran
Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :
1.
Pangeran Agong
2.
Pangeran Kadar
3.
Pangeran Senarong
Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, beliau digantikan
oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan
Raja-Raja Belitang. Sedangkan Pangeran Agong memilih mengasingkan diri beserta
pengikutnya ke tempat yang kini disebut dengan Lawang Kuwari. (Betang Panjang
yang menghilang dan hingga kini tempat ini dianggap keramat ).
Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar
Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau mendalami
agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan
rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama
memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur diikuti
beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan;
Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam
di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke
sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.7
Daerah Penyebaran
Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang
kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja Belitang.
Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari melewati hutan
karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang dibekalkan padanya
yakni sebuah keris telah hilang.
Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di
hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut dan
membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris pusaka
kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan terlepasnya ganggang
keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari, oleh sebab itu ia sangat
ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri sekalian berusaha mencari keris
pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu kapuas. Dara tersebut bernama Dayang
Imbok Benang, keturunan kesekak Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia
ditemukan oleh Demong Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri
oleh Demong Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang
anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda bernama:
Abang bari.
Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu
mereka yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia di
sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah sungai
Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal maka sungai
tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya disebut daerah
Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung dengan keturunan ibunya,
menjadi bagian dari masyarakat Mualang. Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti
ayahnya meneruskan pemerintahan Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau
ke Belitang untuk meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.
Ratu Beringkak
Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau)
menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama
bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang,
ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun
keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat
golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang
berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung
Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai
Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi
masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak
dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah
pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi,
yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa
Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan,
ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka
orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian
juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.
Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi
orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai
Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan
dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang
Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum
puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut
Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya
tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang,
mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang
bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus
anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu
beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang
Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan
secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat
dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan
pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu
beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya
ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar
dianggap sebagai tempat keramat.
Lagu
Daerah Dayak Mualang
Tarian Dayak
Mualang
Tari Pingan Mualang / Tari Pireng Mualang, tersebar di belitang
Ilek, tengah dan hulu. Tari Pedang Mualang / ngajat bebunoh tersebar di
belitang Ilek ( merbang dan sekitarnya ) dan belitang Hulu ( sebetung dan
sekitarnya ). Ajat Temuai datai ( persembahan tamu yang datang / penyambutan
tamu / tari adat ), tersebar di belitang ilek, tengah, ulu dan sekitarnya
Sanggar Seni
Sanggar Sengalang Burong ( provinsi kalbar, rumah betang Letjen
sutoyo ) Sanggar Sengalang Menenank ( di desa merbang, kec. belitang Hilir, Kab
sekadau ) Sanggar Ayak Menebing ( di Kecamatan Sui-Ayak, kab. Sekadau )
kelompok Kerajinan
Tenun Kumpang Ilong, Kecamatan Belitang Hulu
0 komentar:
Posting Komentar